Perkembangan teknologi saat ini memang bisa memudahkan banyak hal, tetapi tetap perlu bpemimpin agar anak tidak terjerumus dalam ancaman nan ada. Salah satunya pada penggunaan ChatGPT.
Dikutip dari Forbes, sejak peluncuran ChatGPT pada akhir tahun 2022, beragam perusahaan telah berlomba-lomba untuk menerapkan jenis generatif AI sendiri dan mengintegrasikannya ke dalam produk nan sudah ada.
Misalnya, integrasi eksperimental chatbot AI ke dalam Snapchat. Selain itu, dalam jenis cuma-cuma aplikasi tersebut, chatbot AI, secara default, menjadi kawan pertama dalam daftar percakapan setiap orang.
Hingga gini, penggunaan ChatGPT pun terus mengalami peningkatan pesat, terutama di kalangan remaja dan praremaja.
Dikutip dari Kidscreen, The Animation Guild memperingatkan potensinya untuk merugikan anak-anak. Termasuk jika digunbakal untuk melakukan tugas sekolah.
Sebagian besar anak-anak menggunbakal AI untuk mencari jawaban atas pertanyaan (34 persen), sementara nan lain menggunakannya untuk membikin gambar (29 persen), membantu mengerjbakal tugas sekolah (22 persen), membikin video (13 persen) alias penggunaan lainnya (2 persen).
Penggunaan ChatGPT pada anak-anak, apa dampaknya?
Para pembimbing dan pendidik lainnya mempunyai beragam retindakan terhadap perkembangan ChatGPT nan sekarang semakin intens. nan paling menonjol adalah kekhawatiran bakal kecurangan dan dampaknya terhadap proses belajar.
Menurut info terbaru dari Pew Research Center, dari tahun ke tahun, semakin banyak remaja nan menggunbakal ChatGPT untuk membantu mengerjbakal tugas sekolah mereka.
Hal ini menimbulkan banyak pertanyaan: Haruskah penggunaan ChatGPT dilarang bagi pelajar? Apakah ada akibat negatif dari penggunaannya? Atau justru ChatGPT mempunyai peran berbobot jika digunbakal dengan pedoman nan tepat?
Studi lainnya tentang penggunaan ChatGPT
Ada pola penggunaan bervariasi dalam aspek lain terhadap ChatGPT. Menurut info Pew Research Center, 54 persen remaja beranggapan boleh saja menggunbakal ChatGPT untuk meneliti topik baru.
Tapi support tersebut menurun tajam ketika menyangkut penggunaan chatbot untuk mengerjbakal matematika alias menulis esai, ialah 29 persen saja.
Selain itu, 18 persen mengatbakal boleh menggunbakal ChatGPT untuk menulis esai, tapi 42 persen mengatbakal bahwa penggunaan semacam itu tidak bisa diterima.
Perlukah penggunaan ChatGPT untuk tugas sekolah dikhawatirkan?
Tidak semua orang menganggap integrasi ChatGPT di lingkungan pendidikan adalah perihal buruk. Penelitian awal nan dilakukan oleh Stanford University Graduate School of Education menemukan bahwa akses terhadap AI tidak meningkatkan gelombang kecurangan oleh siswa.
Penelitian ini tetap berlangsung, sehingga para peneliti mengatbakal bahwa gelombang kecurangan bisa saja meningkat seiring siswa semakin terbiasa dengan teknologi ini.
Laura Tierney, pendiri dan CEO The Social Institute, memberikan pandangannya tentang penggunaan ChatGPT dalam lingkup akademik.
"Saya beranggapan AI sebagai mitra berpikir individual bagi siswa, membantu mereka belajar lebih efisien dan efektif, seperti halnya kalkulator digital merevolusi pelaliran matematika di tahun 1970-an," kata Tierney, seperti dikutip dari Parents.
Menurut Tierney, ada waktu nan tepat untuk menggunbakal perangkat ini dan ada saatnya tidak boleh digunakan.
"Jika kalkulator digital digunbakal untuk matematika dalam pembelajaran, maka AI dapat membantu siswa dalam seni belajar," imbuhnya.
Apa saja contoh penggunaan nan tepat seperti nan dimaksud Tierney? Menurut survei siswa nan dilakukan oleh The Social Institute, siswa merasa ChatGPT paling membantu dalam:
- Memecah topik kompleks menjadi lebih mudah dipahami
- Membantu brainstorming buahpikiran untuk esai alias proyek
- Menghasilkan soal latihan untuk persiapan ujian
"Akan semakin banyak siswa nan memasukkan AI ke dalam kebiasaan belajar mereka untuk menggali topik lebih dalam dan meningkatkan pembelajaran. Itu bisa menjadi perihal nan sangat positif jika digunbakal dengan langkah nan benar," kata Tierney.
Apa saja keterbpemimpin dari ChatGPT untuk belajar?
Meski dipercaya bisa memberikan faedah bagi proses belajar anak, tapi ada beberapa argumen untuk tetap berhati-hati ya, Bunda.
Menurut psikiater anak dan remaja, Dr. Zishan Khan, salah satu kekhawatiran terbesar jika remaja berjuntai pada ChatGPT untuk tugas sekolah adalah menghalang pembelaliran dan keahlian berpikir kritis.
ChatGPT bisa memberikan jawaban dengan cepat, tapi tidak selampau jeli dan tidak melatih anak untuk mengkajian masalah, berpikir kritis, alias memcorak kebiasaan belajar nan baik.
Dr. Khan menunjukkan beberapa potensi akibat negatif dari ketergantungan berlebihan pada ChatGPT, antara lain:
Anak tidak memahami sepenuhnya
Saat belajar dari jawaban ChatGPT, anak hanya menyalin jawaban tanpa benar-betul memahami konsep dan isinya.
Kurangnya pengembangan keterampilan
Menulis, memecahkan masalah, dan riset bisa tersendat jika anak terbiasa membiarkan AI mengerjbakal semuanya.
Masalah integritas akademik
Menggunbakal AI untuk menyelesaikan tugas tanpa menyebut sumber bisa membikin anak tidak belajar pentingnya etika akademik.
Potensi info nan menyesatkan
Tidak selampau 100 persen akurat, ChatGPT mungkin saja memberikan info nan salah. Ini berpotensi menimbulkan akibat akademik serius.
Pentingnya orang tua obrolan tentang ChatGPT dengan anak
Melihat beragam tantangan ini, Bunda mungkin perlu menetapkan patokan penggunaan di rumah dan obrolan dengan anak tentang kapan dan gimana ChatGPT digunakan.
"Orang tua kudu menjelaskan kapan AI itu bermanfaat, dan kapan lebih baik menggunbakal langkah lain. ChatGPT sebaiknya mendukung proses belajar, bukan menggantikannya," ungkap Tierneys.
Dr. Khan juga setuju bahwa AI tidak perlu dilarang, tapi orang tua bisa membantu remaja memcorak pola pikir nan bertanggung jawab terhadap teknologi.
Orang tua juga bisa menjelaskan bahwa tidak apa-apa menggunbakal ChatGPT untuk brainstorming alias memahami konsep, tapi AI tidak digunbakal untuk menyalin jawaban sepenuhnya.
AI bisa saja salah, itulah pentingnya mengajarkan anak untuk berpikir kritis, mengusulkan pertanyaan, dan memverifikasi kebenaran dengan sumber nan dapat dipercaya.
Di saat nan sama, para mahir juga menyarankan satu perihal krusial lainnya: anak tetap memahami dan merasa nykondusif dengan teknologi di masa depan.
"Anak justru bisa tertinggal lebih jauh jika mereka tidak terbiasa dengan beragam perangkat lunak nan umum digunbakal masyarakat," pesan Dr. Khan.
Demikian ulasan tentang penggunaan ChatGPT untuk tugas sekolah anak, serta apa nan bisa dilakukan oleh orang tua untuk memberi bpemimpin secara tegas. Pastikan anak tetap bertanggung jawab mengenai penggunaan ChatGPT untuk belajar.
Bagi Bunda nan mau sharing soal parenting dan bisa dapat banyak giveaway, yuk join organisasi HaiBunda Squad. Daftar klik di SINI. Gratis!
(rap/rap)