Indeks bursa saham Wall Street Amerika Serikat (AS) kebanyakan ambruk pada perdagangan akhir pekan lalu, Jumat (20/6).
Merosotnya saham AS seiring kekhawatiran penanammodal atas ketegangan geopolitik di Timur Tengah usai serangan militer AS ke Iran. Langkah garang Presiden Donald Trump memicu ketakutan bakal pembargumen Iran dan mendorong ekspektasi kenaikan nilai minyak global.
Indeks S&P 500 turun 0,21% dan Nasdaq Composite merosot 0,49%. Hanya Dow Jones Industrial Average nan naik 38,47 poin alias 0,09% ke posisi 42.210,13.
Meski sebelumnya S&P 500 sempat naik tajam pasca meredanya kekhawatiran atas tarif perdagangan, indeks referensi tersebut sekarang tertahan sekitar 2,7% di bawah level tertinggi Februari. Sejak mendekati titik rekor itu, indeks telah melewati 27 sesi perdagangan tanpa mencetak rekor baru.
Pasar sekarang memusatkan perhatian pada perkembangan bentrok Iran-Israel nan diperparah oleh support terbuka dari AS. Dalam pidatonya, Trump menyebut serangan terhadap akomodasi nuklir Iran sebagai “kesuksesan militer nan spektakuler” dan mewanti-wanti potensi serangan lanjutan andaikan Iran tidak mau damai.
Sebaliknya, Iran menegaskan siap menggunbakal seluruh opsi untuk mempertahankan diri dan memperingatkan bakal adanya “konsekuensi nan abadi.” Negara itu juga menyatbakal bakal meningkatkan serangan terhadap Israel.
Kepala strategi pasar Interactive Brokers, Steve Sosnick, menilai respons pasar bakal sangat berjuntai pada retindakan lanjutan dari Iran dan pergerbakal nilai minyak. “Sulit membayangkan saham tidak beretindakan negatif. Efek paling nyata adalah nilai minyak, kestabilan pasar, dan potensi inflasi nan melebar,” kata Sosnick, dikutip Reuters, Senin (23/6).
Harga Minyak Bnalar Naik Tajam
Konflik antara Iran dan Israel nan kian panas memicu kekhawatiran bakal potensi gangguan pasokan minyak dunia serta dampaknya terhadap inflasi dan arah kebijbakal suku kembang Federal Reserve.
Menurut analis SEB Ole Hvalbye, minyak mentah Brent diperkirbakal melonjak US$ 3–US$ 5 per barel saat perdagangan dibuka kembali Minggu (22/6) malam. Sebelumnya, Brent ditutup di level US$ 77,01 per barel dan West Texas Intermediate (WTI) berada di US$ 73,84 per barel pada akhir pekan lalu. Lonjbakal nilai diprediksi bakal semakin tinggi jika Iran melakukan bargumen keras dan memperburuk gangguan pasokan.
Sejauh ini meskipun pasar saham relatif stabil para penanammodal terpantau tetap waspada. Tingginya nilai minyak dinilai dapat mendorong inflasi dan mengganggu rencana The Fed untuk menurunkan suku bunga. Pada pertemuan terbaru, bank sentral AS memang mempertahankan suku kembang tetap, tetapi memberi sinyal bahwa penurunan suku kembang bakal dilakukan lebih lambat dari perkiraan sebelumnya.
"Pertanyaannya adalah gimana nilai minyak bakal mempengaruhi inflasi, ini bakal berakibat langsung terhadap kebijbakal moneter dan seberapa lama Fed bakal mempertahankan suku kembang di level nan ‘signifikan restriktif’," kata Sonu Varghese, mahir strategi makro dunia di Carson Group.
Sementara itu, sebagian pelsaya pasar tetap memandang kesempatan de-eskalasi. Kepala investasi Siebert Financial, Mark Malek, menilai ketidakpastian dua pekan mendatang bisa menjadi momen jarak nan menenangkan. “Ini tampak seperti tindbakal militer sekali jalan, bukan eskalasi menuju bentrok berkepanjangan,” ujarnya.
Adapun di tengah gejolak geopolitik, penanammodal juga bakal mencermati sejumlah rilis info ekonomi krusial pekan ini. Hal itu mencangkup aktivitas bisnis, penjualan rumah, indeks kepercayaan konsumen, dan Indeks Harga PCE, parameter inflasi favorit The Fed.
Indeks kepercayaan konsumen di AS tercatat melemah dalam beberapa bulan terakhir seiring naiknya kekhawatiran rumah tangga terhadap akibat kebijbakal tarif nan berpotensi memicu resesi dan inflasi. Namun, prospek pemulihan mulai terlihat setelah tekanan inflasi mereda dan Washington mencapai gencatan senjata jual beli dengan Beijing. Investor optimistis sentimen pasar bakal kembali menguat dalam waktu dekat.