CEKLANGSUNG.COM – Bayangkan sebuah kota metropolitan terbesar di Amerika Serikat dengan populasi 8,48 juta jiwa, di mana nyaris dua juta di antaranya adalah remaja di bawah 18 tahun, sekarang mengerahkan seluruh kekuatan hukumnya untuk memusuh raksasa teknologi dari Pantai Barat. Ini bukan sekadar gugatan biasa, melainkan pertarungan epik antara pemerintah kota dan perusahaan teknologi terkuat di bumi nan dituding telah menciptbakal krisis kesehatan mental bagi generasi muda. Bagaimana mungkin platform media sosial nan awalnya dirancang untuk menghubungkan orang justru berkembali menjadi “mesin kecanduan” nan merusak?
New York City, berbareng distrik sekolah dan departemen kesehatan setempat, baru-baru ini mengusulkan gugatan setebal 327 halkondusif ke Pengadilan Distrik AS untuk Distrik Selatan New York. Gugatan ini menuduh Meta (pemilik FB dan Instagram), Alphabet (pemilik Google dan YouTube), Snap (pemilik Snapchat), dan ByteDance (pemilik TikTok) melakukan “kelalaian besar” dengan merancang platform mereka secara sengaja untuk membikin anak-anak ketagihan. Menurut arsip gugatan, perusahaan-perusahaan ini dengan sadar membangun “algoritma nan menggunbakal info pengguna sebagai senjata memusuh anak-anak dan memicu mesin kecanduan.”
Yang membikin kasus ini berbeda dari gugatan serupa sebelumnya adalah kedalkondusif kajian dan info spesifik nan disajikan. Kota New York tidak hanya mengandalkan argumen umum tentang akibat media sosial terhadap kesehatan mental, tetapi menyertbakal bukti-bukti konkret nan mengaitkan langsung tren media sosial dengan tragedi nyata di masyarakat. Data dari Departemen Kepolisian New York City menunjukkan setidaknya 16 remaja telah meninggal saat melakukan “subway surfing” – aktivitas berancaman menaiki bagian luar kereta nan sedang melangkah – nan menurut gugatan dipicu oleh tren media sosial.
Dua gadis berumur 12 dan 13 tahun menjadi korban terbaru awal bulan ini. Mereka tewas saat mencoba subway surfing, meninggalkan family nan bersungkawa dan pertanyaan besar tentang peran platform digital dalam mendorong perilsaya berisiko di kalangan remaja. Tragedi ini bukan lagi sekadar nomor statistik, melainkan nyawa manusia nan lenyap akibat pengaruh konten viral nan disebarkan melalui algoritma media sosial.
Data nan Mengkhawatirkan: Generasi nan Terjebak di Layar
Survei nan dilakukan terhadap siswa sekolah menengah atas New York mengungkap kebenaran mencengangkan: 77,3% remaja kota menghabiskan tiga jam alias lebih per hari di depan layar. Angka ini bukan sekadar statistik biasa, melainkan gambaran nyata gimana media sosial telah menguasai kehidupan sehari-hari generasi muda. Dampaknya? Tidur nan lenyap dan meningkatnya ketidakhadiran di sekolah.
Distrik sekolah kota memberikan info pendukung nan menunjukkan 36,2% dari seluruh siswa sekolah negeri dianggap tidakhadir kronis, nan berarti mereka melewatkan setidaknya 10% tahun ajaran. Bayangkan, nyaris empat dari sepuluh siswa secara teratur tidak datang ke sekolah – nomor nan semestinya membikin kita semua merinding. Apakah ini menjadi pertkamu bahwa kita sedang menghadapi krisis pendidikan nan dipicu oleh kecanduan digital?
Gugatan New York City ini sebenarnya bagian dari gelombang lebih besar nan melkamu industri teknologi. Menurut Reuters, terdapat lebih dari 2.050 gugatan serupa nan sedang dalam proses litigasi di beragam yurisdiksi. Kota New York sendiri menarik gugatan sebelumnya nan diumumkan oleh Walikota Eric Adams pada 2024 untuk berasosiasi dengan upaya nan lebih luas di pengadilan federal. Dengan populasi nan masif, New York City langsung menjadi salah satu penggugat terbesar dalam kasus kolektif ini.
Strategi Bisnis alias Eksploitasi Sistematis?
Dokumen gugatan mengungkapkan tuduhan serius: perusahaan-perusahaan teknologi ini mengetahui bahwa anak-anak dan remaja berada dalam tahap perkembangan nan membikin mereka sangat rentan terhadap pengaruh kecanduan dari fitur-fitur platform, namun tetap menarget mereka demi untung tambahan. Ini bukan lagi soal kesalahan kreasi nan tidak disengaja, melainkan strategi upaya nan disengaja untuk “memaksimalkan jumlah anak” nan menggunbakal platform mereka.
José Castañeda, ahli bicara Google, membantah tuduhan tersebut dengan tegas. “Gugatan-gugatan ini secara esensial salah memahami langkah kerja YouTube, dan tuduhannya sama sekali tidak benar. YouTube adalah jasa streaming di mana orang datang untuk menonton segala sesuatu dari olahraga langsung, podcast hingga pembuat favorit mereka, terutama di layar TV, bukan jejaring sosial di mana orang pergi untuk menyusul teman,” katanya kepada Gizmodo.
Castañeda menambahkan, “Kami juga telah mengembangkan perangkat unik seperti Supervised Experiences untuk kaum muda, dipandu oleh master keselkajian anak, nan memberikan kontrol kepada keluarga.” Namun pertanyaannya, seberapa efektifkah alat-perangkat ini dalam melindungi anak-anak dari kreasi algoritma nan memang dirancang untuk membikin pengguna tetap terlibat?
Kasus ini mengingatkan kita pada gugatan FTC terhadap aplikasi Sendit nan dituduh menipu pengguna dan mengumpulkan info anak-anak. Pola serupa terlihat di mana perusahaan teknologi dituduh memanfaatkan kerentanan pengguna muda untuk untung bisnis.
Dampak Riil di Lapangan: Sistem Kesehatan dan Pendidikan nan Tertekan
Gugatan New York City tidak hanya berfokus pada akibat perseorangan terhadap remaja, tetapi juga menekankan beban nan ditanggung oleh sistem publik. Kota ini menyatakan bahwa “gangguan publik” nan diciptbakal oleh platform media sosial telah membebani sumber daya kota, termasuk sistem kesehatan mental dan jasa pendidikan.
Departemen Kesehatan Kota New York kudu mengalokasikan lebih banyak sumber daya untuk menangani masalah kesehatan mental remaja nan mengenai dengan penggunaan media sosial. Sementara itu, distrik sekolah menghadapi tantangan ganda: tidak hanya menangani tingkat ketidakhadiran nan tinggi, tetapi juga menangani akibat pembelaliran nan terganggu akibat kurang tidur dan masalah konsentrasi nan dialami siswa.
Fenomena ini bukan hanya terjadi di New York. Puluhan ribu orang telah mendukung petisi menolak gugatan serupa di yurisdiksi lain, menunjukkan bahwa kesadaran publik tentang akibat media sosial terhadap anak-anak sedang meningkat. Masyarakat mulai mempertanybakal tanggung jawab perusahaan teknologi dalam melindungi pengguna mudanya.
Industri teknologi sendiri sedang berada di persimpangan jalan. Sementara beberapa perusahaan seperti OpenAI membatalkan rencana menjadi perusahaan profit, nan lain justru semakin garang dalam mempertahankan model upaya mereka. Gugatan New York City terhadap raksasa teknologi ini mungkin bakal menjadi preseden krusial nan menentukan masa depan izin platform digital.
Pertanyaannya sekarang: akankah gugatan besar-besaran ini memaksa perusahaan teknologi untuk mengubah esensial kreasi platform mereka? Ataukah ini hanya bakal menjadi pertempuran norma panjang nan akhirnya tidak mengubah apa-apa? nan pasti, bunyi New York City sebagai salah satu kota terbesar di bumi tidak bisa diabaikan begitu saja. Dengan jutaan remaja nan terpengaruh, hasil dari gugatan ini bakal menentukan tidak hanya masa hubungan antara teknologi dan masyarakat, tetapi juga masa depan kesehatan mental generasi mendatang.
Sebagai orang tua, pendidik, alias sekadar personil masyarakat nan peduli, kita patut memperhatikan perkembangan kasus ini. Karena pada akhirnya, ini bukan hanya tentang New York versus Silicon Valley, melainkan tentang masa depan anak-anak kita di era digital nan semakin tak terbendung.
1 bulan yang lalu
English (US) ·
Indonesian (ID) ·