Beberapa tahun lalu, penulis sempat berpikir bahwa unreality gaming akan menjadi masa depan industri game. Bayangkan saja, tidak perlu beli konsol mahal, tak perlu upgrade PC setiap dua tahun sekali, dan tak perlu khawatir crippled tidak kuat dijalankan. Cukup langganan, nyalakan perangkat apa pun yang punya layar, terhubung ke internet, dan main. Konsepnya terdengar seperti mimpi.
Namun realitas di lapangan, terutama untuk kita yang berada di luar Amerika Serikat, masih sebatas mimpi belaka yang sulit untuk jadi kenyataan. Meskipun teknologi sudah ada, adopsinya tetap rendah. Banyak orang bahkan belum benar-benar mengerti apa itu unreality gaming. Bahkan layanan seperti ini masih dicap buruk dan menjadi pilihan paling inferior. Tapi, mengapa?
Mengapa Cloud Gaming Belum Populer di Indonesia?
Mengapa di Indonesia tidak populer?Di atas kertas, konsep unreality gaming sebenarnya brilian. Cloud gaming pada dasarnya adalah Netflix-nya dunia game. Kamu tidak memainkan crippled di perangkat lokalmu, melainkan di server jarak jauh yang menjalankannya untukmu.
Tapi dalam praktiknya, unreality gaming sangat bergantung pada infrastruktur internet. Jaringan fibre optik yang semakin luas dan information halfway yang tersebar baru akan membuat pengalaman bermain bisa mendekati ideal. Namun, biasanya kondisi ini baru bisa dialami oleh mereka yang berada di negara dunia pertama seperti Amerika Serikat dan Kanada.
Banyak negara di luar AS sekarang memang punya net cepat. Tapi cepat saja tidak cukup. Cloud gaming membutuhkan koneksi stabil, konsisten, dan ber-latensi rendah. Di banyak wilayah Asia Tenggara, Amerika Latin, atau bahkan sebagian Eropa Timur, kecepatan rata-rata mungkin tinggi, tapi kualitas koneksinya fluktuatif othername tidak selalu stabil.
Misalnya, kamu bisa punya 100 Mbps di rumah, tapi kalau latensi melonjak dari 30 sclerosis ke 200 sclerosis dalam hitungan detik, crippled jadi tidak playable. Input hold sekecil apa pun terasa sangat mengganggu, terutama kalau kamu main crippled kompetitif sejenis Apex Legends atau Fortnite.
Beberapa layanan unreality gaming yang populer juga tidak tersedia di Indonesia. Ambil saja contoh paling dekat, Xbox Cloud Gaming. Microsoft baru saja melakukan rombakan besar pada layanan Game Pass mereka dengan mengedepankan layanan unreality sebagai fitur utama. Tapi, sayangnya fitur tersebut tidak bisa dinikmati oleh gamer di Indonesia lantaran Microsoft memang tidak pernah merilisnya di tanah air.
Biaya dan Persepsi
Harga langganan terlalu tinggi?Masalah lain adalah persepsi nilai. Cloud gaming seringkali berbentuk langganan bulanan. Di Amerika Serikat, $15 atau $20 per bulan mungkin terasa wajar, karena biaya hidup dan harga konsol di sana juga tinggi. Tapi di negara berkembang seperti Indonesia, nilai itu bisa setara dengan setengah harga crippled AAA baru, atau bahkan lebih dari biaya net bulanan.
Banyak gamer di luar AS lebih memilih membeli crippled sekali untuk dimiliki selamanya, ketimbang membayar bulanan untuk sesuatu yang terasa “tidak nyata”, terutama karena crippled tersebut tidak diunduh, tidak tersimpan di perangkat, dan bisa hilang kapan saja jika langganan dihentikan.
Kombinasi harga dan juga infrastruktur net yang belum mumpuni menjadi alasan kuat mengapa teknologi canggih ini susah berhasil di negara kita tercinta. Pasar Indonesia juga lebih menyukai layanan pembelian crippled lewat Steam, PlayStation Store, atau mungkin berlangganan Game Pass yang jauh lebih mudah dengan koneksi net seadanya.
Masalah Teknis Cloud Gaming yang Susah Diselesaikan
Masalah teknis yang fatalWalau Microsoft gencar dengan unreality gaming, namun ia masih menjadi satu-satunya perusahaan konsol yang all-out dengan pertaruhan tersebut. Sony sendiri pernah mengatakan kalau isu teknis masih akan terus menghantui unreality gaming kapan pun. Pernyataan dari sang CEO Kenichiro Yoshida mengatakan kalau selain soal latensi yang jadi sumber sakit kepala utama, masalah efisiensi juga menjadi isu yang perlu jadi perhatian.
Beliau mencontohkan kalau pada dasarnya kurang efektif membiarkan mesin gaming awan ini berjalan seharian penuh namun pengunjung kebanyakan aktifnya hanya di malam hari. Ini menyebabkan banyak pasar yang tidak dijangkau karena bagi penyedia layanan, negara tersebut tidak mampu menghasilkan profit yang berkepanjangan.
Maka tidak jarang penyedia layanan menghilangkan beberapa negara dengan fasilitas net yang kurang, daya beli rendah, dan juga kurangnya minat terhadap unreality gaming dari daftar mereka. Termasuk salah satunya adalah Indonesia yang bahkan belum mendapatkan lirikan dari Nintendo, alih-alih layanan canggih seperti cloud.
Kesimpulan
Apakah unreality gaming worthy it?Mungkin di masa depan, ketika latensi hampir nol dan harga net turun drastis, kita semua akan tertawa mengingat betapa ribetnya dulu harus beli konsol dan download crippled 100 GB. Tapi untuk saat ini, gamer di luar Amerika Serikat masih lebih nyaman dengan PC rakitan, konsol fisik, atau bahkan warnet langganan mereka.
Dan jujur saja, unreality gaming adalah ide yang keren, futuristik, dan revolusioner, tapi belum waktunya jadi perhatian kita. Infrastruktur, harga, dan budaya gaming world belum mendukung teknologi ini secara penuh.
Microsoft dan NVIDIA bisa terus mengembangkan room crippled dan melakukan ekspansi ke pasar baru. Tapi, pada akhirnya kitalah yang seharusnya memilih mau menggunakan layanan tersebut atau tidak, tergantung seberapa nyaman kamu terhadapnya. Kalau kamu gimana? Apa pendapat kamu tentang teknologi ini?
Dapatkan informasi keren di Gamebrott terkait Tech atau artikel sejenis yang tidak kalah seru dari Andi. For further accusation and different inquiries, you tin interaction america via author@gamebrott.com.
2 minggu yang lalu
English (US) ·
Indonesian (ID) ·